37. Pembahasan Tentang Hitungan Kecuali Riwayat dari Mu'adz

【1】

Musnad Syafi'i 1416: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, ia mengatakan: Aku pernah mendengar Abu Bakar bin Abdurrahman berkata, "Aku belum pernah bertemu dengan seorang pun dari kalangan ahli fikih kami melainkan dia mengatakan hal ini." Yakni, sama dengan apa yang dikatakan oleh Aisyah RA."650 Musnad Syafi'i 1417: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri, dari Amrah, dari Aisyah , ia berkata, "Apabila wanita yang diceraikan telah memasuki masa haid yang ketiga, berarti dia telah terbebas dari mantan suaminya." 651 Musnad Syafi'i 1418: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi' dan Zaid bin Aslam, dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Al Ahwash meninggal dunia di negeri Syam ketika istrinya memasuki masa haid yang ketiga, sedangkan Al Ahwash telah menceraikannya. Maka Muawiyah mengirimkan surat kepada Zaid bin Tsabit untuk menanyakan masalah tersebut. Lalu Zaid membalas suratnya bahwa wanita itu apabila telah memasuki masa haid yang ketiga, berarti dia telah terbebas dari suaminya dan suaminya telah terbebas pula darinya; si istri tidak boleh mewarisinya, dan dia pun tidak dapat mewarisi istrinya. 652 Musnad Syafi'i 1419: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri, Sulaiman bin Yasar menceritakan kepadaku dari Zaid bin Tsabit, ia mengatakan: Apabila wanita yang diceraikan telah memasuki haid yang ketiga, berarti dia telah terlepas dari suaminya. 653 Musnad Syafi'i 1420: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi', dari Ibnu Umar , ia mengatakan: Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya, lalu si istri memasuki masa haidnya yang ketiga, sesungguhnya dia terbebas dari suaminya, dan si suami juga terbebas darinya; si istri tidak dapat mewarisinya, dan dia pun tidak dapat mewarisi istrinya. 654 Musnad Syafi'i 1421: Malik mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Hibban, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban: Bahwa kakeknya - yaitu Habban- mempunyai istri dari kalangan Bani Hasyim, dan yang lainnya dari kalangan Anshar. Maka, Habban menceraikan istri dari kalangan Anshar yang sedang menyusui anaknya. Setelah lewat masa setahun, Habban meninggal dunia, sedangkan dia tidak pernah haid lagi. Maka ia berkata, "Aku berhak mewarisinya, karena aku tidak pernah haid lagi." Akhirnya mereka (seluruh keluarga Habban) bersengketa dan mengajukan perkaranya kepada Utsman bin Affan. Ternyata Utsman memutuskan bahwa istri dari kalangan Anshar mendapat warisan, maka istri yang dari Bani Hasyim mencela Utsman. Maka Utsman berkata, "Ini adalah perbuatan anak pamanmu sendiri." Dia mengatakan demikian seraya berisyarat kepada kami, yakni: Ali bin Abu Thalib .655 Musnad Syafi'i 1422: Said bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Abdurrahman bin Abu Bakar yang menceritakan kepadanya: Seorang lelaki dari kalangan Anshar yang dikenal dengan nama Hibban bin Munqidz menceraikan istrinya, sedangkan dia dalam keadaan sehat (tidak sakit) dan istrinya sedang menyusui anak perempuannya. Maka, istrinya tinggal selama 17 bulan tanpa haid karena menyusui anak menghambat haidnya. Kemudian Hibban jatuh sakit setelah menceraikan istrinya, yakni 7 atau 8 bulan kemudian. Maka aku (Abdullah bin Abu Bakar) berkata kepadanya. "Sesungguhnya istrimu bermaksud untuk mewarisi." Hibban berkata kepada keluarganya, "Bawalah aku kepada Utsman." Mereka membawanya kepada Utsman, lalu ia menceritakan perihal istrinya itu, sedangkan di sisi Utsman terdapat Ali bin Abu Thalib dan Zaid bin Tsabit. Maka Utsman berkata kepada keduanya, "Bagaimana pendapat kamu berdua?" Keduanya berkata, "Kami berpendapat bahwa wanita itu berhak mewarisinya jika dia (suami) meninggal dunia, dan dia berhak mewarisi istrinya jika istrinya meninggal dunia, mengingat dia bukan termasuk wanita yang terputus dari haid, bukan pula perawan yang belum mencapai usia haid; kemudian dia masih berada dalam iddah haidnya, baik sedikit ataupun banyak." Maka. Hibban kembali kepada keluarganya dan mengambil anak perempuannya. Setelah wanita itu tidak menyusui lagi, maka ia haid satu kali, kemudian haid lagi, tetapi Hibban meninggal dunia lebih dahulu sebelum ia haid untuk yang ketiga kalinya. Lalu dia melakukan iddah seorang istri yang ditinggal mati suaminya dan mendapatkan warisan dari suaminya. 656 Al Asham berkata, “Dalam kitabku tulisan 'Hibban' dengan ba'." Musnad Syafi'i 1423: Malik mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa'id dan Yazid bin Abdullah bin Qusaith, dari Ibnu Al Musayyab, ia mengatakan: Umar bin Al Khaththab pernah berkata, "Siapapun wanitanya yang diceraikan, lalu haid sekali atau 2 kali, kemudian haidnya terhenti, maka ia menunggu sampai 9 bulan. Jika ternyata ia hamil, maka itulah masa iddahnya (sampai melahirkan); dan jika tidak, hendaklah ia melakukan iddah selama 3 bulan sesudah 9 bulan, setelah itu baru ia halal (untuk kawin lagi)." 657 Musnad Syafi'i 1424: Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Lais bin Abu Sulaim, dari Thawus, dari Ibnu Abbas : Bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan kasus seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu ia berduaan dengannya, tetapi tidak menyentuhnya, kemudian menceraikannya; yaitu bahwa tidak ada lain bagi wanita tersebut kecuali hanya setengah dari maskawin, karena Allah SWT telah berfirman, "Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian menggaulinya, sedangkan kalian telah menetapkan suatu maskawin untuk mereka, maka bayarlah separuh dari maskawin yang telah kalian tetapkan." (Qs. Al Baqarah [2]: 237) 658 Musnad Syafi'i 1425: Sufyan menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Abdurrahman maula keluarga Thalhah, dari Sulaiman bin Yasar, dari Abdullah bin Utbah, dari Umar bin Al Khaththab , ia mengatakan: Seorang budak lelaki boleh mengawini 2 orang perempuan dan menjatuhkan thalak 2 kali. Budak perempuan melakukan iddahnya 2 kali haid; dan jika ia tidak haid, maka iddahnya 2 bulan atau sebulan setengah. Sufyan mengatakan bahwa dia (Muhammad bin Abdurrahman) adalah orang yang berpredikat tsiqah (dapat dipercaya haditsnya). 659 Musnad Syafi'i 1426: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Amr bin Dinar, dari Amr bin Aus Ats-Tsaqafl, dari seorang lelaki dari kalangan Bani Tsaqif bahwa ia pernah mendengar Umar bin Al Khaththab berkata, "Seandainya aku mampu, niscaya aku menjadikannya sekali haid dan separuhnya." Maka seorang lelaki berkata, "Jadikan saja satu setengah bulan." Maka, Umar diam (yakni setuju dengan pendapat lelaki tersebut). 660 Musnad Syafi'i 1427: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi', dari Abdullah bin Umar bahwa ia pernah berkata sehubungan dengan Ummul Walad yang ditinggal mati oleh tuannya, "Dia beriddah selama sekali haid." 661 Musnad Syafi'i 1428: Malik mengabarkan kepada kami dari Abdu Rabbih bin Said bin Qais, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, ia mengatakan: Ibnu Abbas dan Abu Hurairah pernah ditanya mengenai masalah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Maka Ibnu Abbas menjawab, "Hingga akhir iddahnya (maksudnya 4 bulan 10 hari)." Sedangkan Abu Hurairah menjawab, "Apabila dia melahirkan, berarti telah halal untuk kawin lagi." Maka, masuklah Abu Salamah menemui Ummu Salamah, istri Nabi , lalu menanyakan masalah tersebut kepadanya. Ummu Salamah berkata, "Subai'ah Al Aslamiyah melahirkan anaknya selang setengah bulan sesudah kematian suaminya, lalu ia dilamar oleh 2 orang lelaki; yang seorang pemuda, sedangkan yang lainnya kakek-kakek. Ternyata Subai'ah menerima lamaran si pemuda, maka si kakek itu berkata, "Dia masih belum halal untuk kawin." Keluarga Subai'ah sedang tidak ada di tempat, dan si kakek berharap apabila keluarga Subai'ah tiba akan memilihnya untuk menjadi suami Subai'ah. Maka, Subai'ah datang kepada Rasulullah , dan beliau bersabda, "Engkau telah halal, maka kawinlah dengan orang yang kamu sukai."662 Musnad Syafi'i 1429: Malik mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa'id, dari Sulaiman bin Yasar: Ibnu Abbas dan Abu Salammah berselisih pendapat mengenai masalah seorang wanita yang melahirkan sesudah kematian suaminya lewat beberapa malam. Maka Ibnu Abbas berkata, "Hingga akhir masa iddahnya." Sedangkan Abu Salamah berkata, "Apabila dia telah melahirkan, berarti telah halal." Maka datanglah Abu Hurairah, lalu berkata, "Aku sependapat dengan keponakanku." Yakni, Abu Salamah. Lalu mereka menyuruh Kuraib maula Ibnu Abbas menemui Ummu Salamah untuk menanyakan masalah tersebut Ketika Kuraib kembali kepada mereka, ia langsung memberitahukan bahwa Ummu Salamah berkata, "Subai'ah Al Aslamiyah pernah melahirkan anak sesudah kematian suaminya selang beberapa malang lalu ia menceritakan hal itu kepada Rasulullah , maka beliau bersabda kepadanya, 'Kamu telah halal, maka kawinlah' 663 Musnad Syafi'i 1430: Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Al Miswar bin Makhramah: Bahwa Subai'ah Al Aslamiyah melahirkan anak selang beberapa malam sesudah suaminya meninggal dunia, lalu ia datang kepada Rasulullah dan meminta izin kepadanya untuk kawin, maka beliau mengizinkannya. 664 Musnad Syafi'i 1431: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi', dari Ibnu Umar bahwa ia pernah ditanya mengenai masalah seorang wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, maka Ibnu Umar menjawab, "Apabila dia telah melahirkan, berarti dia telah halal (untuk kawin)." Ia mendapat berita dari seorang lelaki kalangan Anshar bahwa Umar bin Al Khaththab pernah berkata, "Seandainya seorang istri melahirkan, sedangkan jenazah suaminya masih ada di atas peraduannya dan belum dikebumikan, dia benar- benar telah halal (untuk kawin lagi)." 665 Musnad Syafi'i 1432: Abdul Majid menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Abu Az-Zubair, dari Jabir, ia berkata, 'Tidak ada nafkah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, sudah cukup baginya mendapat warisan." 666 Musnad Syafi'i 1433: Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam, dari ayahnya yang mengatakan sehubungan dengan masalah seorang wanita badui yang ditinggal mati suaminya: Bahwa wanita tersebut tinggal di tempat keluarganya berdiam. 667 Musnad Syafi'i 1434: Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Hisyam, dari ayahnya dan Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah tentang hal yang semisal atau semakna dengannya, tanpa ada perbedaan. 668 Musnad Syafi'i 1435: Malik menceritakan kepada kami dari Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, dari Humaid bin Nafi', dari Zainab binti Abu Sfllamah bahwa dia telah menceritakan kepadanya (Humaid bin Nafif) ketiga hadits berikut. Zainab menceritakan: Aku masuk menemui Ummu Habibah - istri Nabi - ketika Abu Sufyan meninggal dunia. Lalu Ummu Habibah meminta wewangian yang terbuat dari minyak za'faran atau lainnya dan memakaikan sebagian darinya kepada budak perempuannya, kemudian ia sendiri mengusap dadanya dengan minyak itu, lalu ia berkata, "Demi Allah, sebenarnya aku tidak memerlukan minyak wangi melainkan aku pernah mendengar Rasulullah bersabda “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan belasungkawa atas mayit lebih dari 3 malam; kecuali bila ditinggal mati oleh suami, maka (iddahnya) 4 bulan 10 hari" Musnad Syafi'i 1436: Zainab menceritakan pula: Aku masuk menemui Zainab binti Jahsy ketika saudara laki-lakinya, Abdullah, meninggal duma. Lalu Zainab meminta minyak wangi dan memakai sebagian darinya, kemudian berkata, "Sebenarnya aku tidak memerlukan minyak wangi, hanya aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbarnya, 'Wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian tidak halal melakukan iddah atas meninggalnya seseorang lebih dari 3 hari; kecuali karena ditinggal mati suami, maka iddahnya 4 bulan 10 hari'." Musnad Syafi'i 1437: Zainab menceritakan pula: Aku pernah mendengar ibuku - Ummu Salamah- berkata, "Seorang wanita datang kepada Nabi , lalu berkata, 'Sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati suaminya, sedangkan dia sakit mata, bolehkah kami memakaikaan celak mata kepadanya?' Maka Rasulullah menjawab, Tidak boleh', sebanyak 2 atau 3 kali, yang semuanya dikatakan tidak boleh. Setelah itu beliau bersabda, 'Sesungguhnya iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Dahulu di masa Jahiliyah seseorang di antara kalian (yang melakukan iddah) melemparkan kotoran hewan pada penghujung tahunnya." Humaid berkata, "Maka aku bertanya kepada Zainab, 'Apakah arti melemparkan kotoran hewan di penghujung tahunnya?"' Zainab menjawab, "Dahulu bila ada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, maka ia memasuki rumah kecil dan memakai pakaiannya yang paling buruk tanpa memakai wewangian dan apapun juga hingga lewat masa setahun. Kemudian didatangkan kepadanya seekor keledai atau seekor kambing atau seekor burung, lalu ia memegangnya." Zainab berkata, "Tidak sekali-kali ia memegang sesuatu melainkan yang disentuhnya itu mati. Kemudian dia keluar (dari rumah kecilnya), lalu diberi kotoran hewan dan dia melemparkannya. Setelah itu dia boleh memakai wewangian atau apapun yang disukainya." Asy-Syafi'i mengatakan, al hafsy artinya rumah kecil lagi hina yang terbuat dari bulu, berupa bangunan atau lainnya. Al qabdhu, memegang salah satu anggota tubuh hewan dengan ujung jarinya. Al qabdhu juga berarti memegang dengan seluruh telapak tangan. 669 Musnad Syafi'i 1438: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi', dari Shafiyah binti Ubaid, dari Aisyah atau Hafshah bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad (belasungkawa) atas mayit lebih dari 3 malam; kecuali karena ditinggal mati suaminya, maka (ihdadnya) 4 bulan 10 hari."670 Musnad Syafi'i 1439: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, dari Ibnu Al Musayyab dan Sulaiman bin Yasar: Thulaihah pada awal mulanya menjadi istri Rusyaid Ats-Tsaqafi, lalu Rusyaid menceraikannya sampai habis, kemudian Thulaihah dinikahi lagi selagi masih dalam iddahnya. Maka, Umar bin Al Khaththab memukulnya dan juga suaminya beberapa kali dengan cambuk kayu, lalu ia memisahkan keduanya. Kemudian Umar bin Al Khaththab berkata, "Siapapun wanitanya yang melakukan perkawinan dalam iddahnya, jika suami yang menikahinya belum mencampurinya, maka keduanya dipisahkan, kemudian si wanita melanjutkan sisa masa tunggu (iddah) dari suami pertamanya, dan lelaki yang kedua dianggap sebagai salah seorang dari pelamarnya. Jika suami yang baru telah menggaulinya, maka hakim memisahkan keduanya, kemudian si wanita melanjutkan sisa masa tunggu dari suami yang pertama, (sesudah itu) ia kembali melakukan iddah dari suami yang baru. Setelah itu suami yang baru diperbolehkan menikahinya untuk selamanya."671 Sa'id berkata, "Wanita itu berhak memperoleh mahar Musnad Syafi'i 1440: Yahya bin Hasan mengabarkan kepada kami dari Jarir, dari Atha' bin Saib, dari Zadzan bin Abu Umar, dari Ali : Bahwa ia pernah memutuskan hukum dalam kasus wanita yang kawin di masa iddahnya, yaitu dia memisahkan di antara keduanya dan bagi si wanita diberikan maskawinnya sebagai ganti dari apa yang telah dihalalkan dari farjinya. Kemudian si wanita menyempurnakan sisa dari iddah suami pertama yang ia rusak, kemudian melakukan iddah lagi dari suami yang baru. 672 Musnad Syafi'i 1441: Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Syihab, dari Aslam bin Abdullah, dari Abdullah, ia mengatakan: Tidak layak bagi wanita menginap satu malam bila ia berada dalam iddah ditinggal mati atau iddah thalak kecuali di dalam rumahnya sendiri. 673 Musnad Syafi'i 1442: Abdul Aziz mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Amr, dari Muhammad bin Ibrahim bahwa Aisyah berkata, "Bertakwalah kepada Allah, hai Fatimah, sesungguhnya engkau telah mengetahui menyangkut apakah hal tersebut." 674 Musnad Syafi'i 1443: Malik mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Yazid maula Al Aswad bin Sufyan, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Fathimah binti Qais: Bahwa Abu Amr bin Hafsh telah menthalaknya tiga kali, sedangkan Abu Amr sendiri berada di negeri Syam. Lalu ia menyebutkan hadits dan ia menyatakan bahwa di dalamnya ada redaksi: Lalu Fatimah binti Qais datang kepada Nabi dan menceritakan hal tersebut, maka beliau bersabda, "Kamu tidak berhak mendapat nafkah lagi darinya" Dan Nabi memerintahkan dia agar menjalankan iddah di rumah Ummu Syarik, sesudah itu beliau bersabda, "Tetapi Ummu Syarik adalah seorang wanita yang sering dikerumuni oleh sahabat-sahabatku, maka beriddahlah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena ia adalah orang yang tunanetra sehingga kamu dapat melepaskan bajumu."675 Musnad Syafi'i 1444: Ibrahim bin Abu Yahya mengabarkan kepada kami dari Amr bin Maimun bin Mahran, dari ayahnya, ia mengatakan: Aku tiba di Madinah, lalu aku menanyakan tentang penduduknya yang paling alim, akhirnya aku ditunjukkan kepada Sa'id bin Musayyab. Maka aku bertanya kepadanya tentang wanita yang dithalak habis-habisan. Ia menjawab, "Hendaklah dia melakukan iddah di rumah suaminya." Aku bertanya, "Bagaimana dengan hadits Fatimah binti Qais?" Sa'id bin Musayyab tercengang -dan digambarkan bahwa dia marah— lalu berkata, "Fatimah gemar memfitnah orang-orang, lisannya sangat tajam, maka ia berani terhadap mertua dan saudara-saudara iparnya. Maka, Rasulullah memerintahkannya agar melakukan iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum." 676 Musnad Syafi'i 1445: Malik mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa'id, dan Al Qasim dan Sulaiman bin Yasar, bahwa ia mendengar keduanya menyebutkan bahwa Yahya bin Sa'id bin Ash telah menceraikan anak perempuan Abdurrahman bin Hakam tiga kali, maka Abdurrahman bin Hakam memindahkannya. Aisyah mengirimkan utusan kepada Marwan bin Hakam —Amir Madinah— seraya berpesan, "Bertakwalah kepada Allah, hai Marwan, dan kembalikanlah si wanita itu ke rumah suaminya." Marwan menjawab —menurut hadits Sulaiman—, "Abdurrahman telah menekanku." Marwan mengatakan -dalam hadits Al Qasim-, "Apakah tidak pernah sampai kepadamu perihal yang dialami oleh Fatimah binti Qais?" Aisyah menjawab, "Tidak, kamu jangan menceritakan perihal Fatimah (binti Qais)." Marwan berkata, "Jika hal itu terjadi, sesungguhnya hanya keburukanlah yang kamu bawa. Maka, cukup bagimu keburukan yang ada di antara kedua orang ini." 677 Musnad Syafi'i 1446: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi', bahwa anak perempuan Said bin Zaid pada mulanya menjadi istri Abdullah, lalu ia menceraikannya habis-habisan, dan anak perempuan Said keluar (dari rumah suaminya), maka perbuatannya itu diprotes oleh Ibnu Umar .678 Musnad Syafi'i 1447: Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Abu Az-Zubair dari Jabir bin Abdullah bahwa ia mendengarnya mengatakan: Nafkah wanita yang diceraikan tetap berlangsung selagi belum haram. Apabila telah haram, maka diberi mut'ah menurut cara yang makruf. 679 Musnad Syafi'i 1448: Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, ia mengatakan bahwa Atha' pernah mengatakan: Wanita yang dithalak habis lagi dalam keadaan mengandung bukan merupakan tanggungan bekas suaminya lagi, hanya saja ia diberi nafkah karena kandungannya. Jika ia tidak mengandung, maka tidak ada nafkah baginya.680 Musnad Syafi'i 1449: Yahya bin Hasan mengabarkan kepada kami dari Abu Awanah, dari Manshur bin Mu'tamir, dari Al Minhal bin Amr, dari Abbad bin Abdullah Al Asadi, dari Ali bahwa ia pernah berkata mengenai kasus seorang wanita kehilangan suaminya, "Wanita itu tidak boleh kawin." 681 Musnad Syafi'i 1450: Yahya bin Hasan mengabarkan kepada kami dari Husaim bin Basyir, dari Yasar Abu Al Hakam yang dijuluki dengan sebutan "Abul Hakam", dari Ali mengenai masalah wanita yang kehilangan suaminya bila suaminya tiba, sedangkan istrinya telah menikah lagi (dengan orang lain): Jika suaminya menghendaki (cerai), ia dapat menceraikan(nya); dan jika dia menghendaki rujuk, maka istrinya tidak boleh memilih (pilihan lain). 682 Musnad Syafi'i 1451: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi', dari Ibnu Umar : Bahwa ia menceraikan istrinya, sedangkan istrinya tinggal di rumah Hafshah (saudara perempuan Ibnu Umar) yang terletak di jalan yang dilaluinya ke masjid. Maka, Ibnu Umar mengambil jalan dari belakang perumahan karena tidak suka bila harus meminta izin dahulu kepadanya sebelum rujuk kepadanya. 683 Musnad Syafi'i 1452: Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, ia mengatakan: Dahulu seorang lelaki bila telah menceraikan istrinya, ia merujuknya sebelum si istri menghabiskan iddahnya. Hal tersebut diperbolehkan baginya, sekalipun ia menceraikannya sebanyak 1000 kali. Lalu ada seorang lelaki dengan sengaja menceraikan istrinya, kemudian menangguhkannya sampai masa iddahnya hampir habis; kemudian ia merujuknya kembali, lalu menceraikannya lagi, dan lelaki itu berkata, "Demi Allah, aku tidak akan memberikan tempat kepadamu, dan kamu tidak akan halal selama-lamanya." Maka Allah menurunkan firman-Nya, "Thalak yang boleh dirujuk itu adalah 2 kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik." (Qs. Al Baqarah [2]: 229) Maka, orang-orang menerima ketentuan thalak yang baru. Di antara mereka yang telah menceraikan istrinya, maka mereka menceraikannya; ada pula di antara mereka yang tidak menceraikannya (yakni rujuk kembali). 684