10. Cerai dan Li'an

【1】

Sunan Tirmidzi 1095: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah], telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Zaid] dari [Ayyub] dari [Muhammad bin Sirrin] dari [Yunus bin Jubair] berkata: "Saya bertanya kepada [Ibnu Umar] tentang seorang laki-laki yang menceraikan isterinya dalam keadaan haid. Dia menjawab: "Apakah kamu tahu Abdullah bin Umar. Dia pernah menceraikan isterinya saat haid. Kemudian Umar bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau menyuruhnya agar merujuknya kembali. Yunus bin Jubair bertanya: "Apakah dia ber'iddah dengan talak tersebut?" dia menjawab: "Kenapa. (bagaimana tidak dihitung)? Tahukah kamu meskipun dia lemah dan bodoh."

【2】

Sunan Tirmidzi 1096: Telah menceritakan kepada kami [Hannad] dari [Waki'] dari [Sufyan] dari [Muhammad bin Abdurrahman] mantan budak keluarga Thalhah, dari [Salim] dari [Bapaknya] bahwa dia menceraikan isterinya saat haid. Umar bertanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. beliau menjawab: "Perintahkan dia untuk rujuk kembali, dan mentalaknya ketika (dalam keadaan) suci atau ketika hamil." Abu Isa berkata: "Hadits Yunus bin Jubair dari Ibnu Umar merupakan hadits hasan sahih. Demikian juga hadits Salim dari Ibnu Umar. Hadits ini telah diriwayatkan dari banyak jalur, dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini diamalkan para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang lainnya. Bahwa: Talak yang sesuai dengan sunnah adalah menceraikan pada saat suci yang belum disetubuhi. Sebagian mereka berkata: jika dia menalaknya tiga kali dalam keadaan suci, itu sesuai dengan sunnah. Ini pendapat Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal. Sebagian mereka berkata: yang sesuai sunnah tidak ada talak tiga kecuali talak sekali-sekali. Ini pendapat Sufyan Ats Tsauri dan Ishaq. Mereka berkata mengenai talak (yang dijatuhkan kepada) orang hamil, dia bisa menalaknya kapan dia mau. Ini pendapat Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Sebagian mereka berpendapat: menalaknya pada setiap bulan satu talak.

【3】

Sunan Tirmidzi 1097: Telah menceritakan kepada kami [Hannad], telah menceritakan kepada kami [Qabishah] dari [Jarir bin Hazim] dari [Zubair bin Sa'id] dari [Abdullah bin Yazid bin Rukanah] [Bapaknya] dari [kakeknya] berkata: "Aku mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku berkata: 'Wahai Rasulullah! Aku telah menceraikan istriku dengan tiga kali ucapan talak.' Beliau bertanya: 'Apa yang kamu niatkan? ' Aku menjawab: 'Aku hanya berniat sekali.' Beliau bertanya: 'Demi Allah? ' Aku menjawab: 'Demi Allah.' beliau bersabda: 'Kalau begitu, hukumnya sesuai dengan apa yang kamu niatkan'." Abu 'Isa berkata: "Hadits ini tidak kami ketahui kecuali melalui jalur ini. Aku bertanya kepada Muhammad perihal hadits ini, dia menjawab: 'Dalam hadits ini terdapat idlthirab. Diriwayatkan juga dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Rukanah menceraikan istrinya langsung tiga kali. Para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selainnya berselisih pendapat mengenai talak langsung tiga kali. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa beliau menganggapnya satu kali. Dan diriwayatkan dari Ali bahwa dia menjadikannya tiga kali talak. Sebagian ulama di antaranya Sufyan Ats Tsauri dan penduduk Kufah berpendapat: hal itu tergantung niat orang yang mentalak. Jika dia berniat satu kali maka dihitung satu kali. Jika berniat tiga kali berarti tiga kali. Jika berniat dua kali maka hanya dihitung satu kali. Sedangkan Malik bin Anas berperndapat: jika dia sudah pernah menyetubuhinya maka dihitung tiga kali. Syafi'i berpendapat: jika dia berniat satu kali, maka dihitung satu kali dan memungkinkan untuk rujuk. Jika berniat dua kali dihitung dua kali, dan jika berniat tiga kali maka dihitung tiga kali."

【4】

Sunan Tirmidzi 1098: Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Nashr bin Ali], telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Harb], telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Zaid] berkata: "Saya bertanya kepada [Ayyub]: 'Apakah kamu tahu selain Hasan yang mengatakan bahwa orang yang berkata kepada istrinya: 'urusanmu ada di tanganmu' adalah sebagai talak tiga? Ayyub menjawab: 'Tidak, hanya Hasan.' Dia berdoa: Ya Allah, ampunilah kecuali yang diceritakan kepadaku oleh [Qatadah] dari [Katsir] mantan budak Bani Samurah, dari [Abu Salamah] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Hal itu dihitung tiga kali." Ayyub berkata: Aku temui Katsir, mantan budak Bani Samurah. Saya tanyakan kepadanya, namun dia tidak mengetahuinya. Saya kembali kepada Qatadah, lalu saya ceritakan perihal Katsir. Dia menjawab: 'Katsir lupa.' Abu Isa berkata: "Ini merupakan hadits gharib. Kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Sulaiman bin Harb dari Hammad bin Zaid. Saya bertanya kepada Muhammad tentang hadits ini. Dia menjawab: telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb dari Hammad bin Zaid dengan hadits ini. Hadits ini sebenarnya diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mauquf dan tidak diketahui diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu'. Ali bin Nashr seorang yang hafizh dan ahli hadits. Para ulama berselisih pendapat mengenai perkataan: "Urusanmu berada di tanganmu." Sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka, diantaranya Umar bin Khaththab dan Abdullah bin Mas'ud berpendapat: itu dihitung satu kali. Ini juga merupakan pendapat para ulama dari kalangan Tabi'in dan setelah mereka. Adapun Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit berpendapat: Hal itu tergantung dengan niatnya. Ibnu Umar berkata: jika dia memberi wewenang urusan talak kepada istrinya, lalu istrinya mentalak dirinya tiga kali, namun suami membantah telah menyerahkan urusan talak kepada istrinya dan menyatakan bahwa dia tidak menyerahkan kecuali satu talak, maka suami dimintai sumpah. Yang diakui ialah pernyataan dia dengan ditambah sumpahnya. Sufyan Ats Tsauri dan penduduk Kufah sependapat dengan Umar dan Abdullah, sedangkan Malik bin Anas berpendapat: hal itu tergantung kepada yang diniatkan. Ini juga merupakan pendapata Ahmad. Ishaq berpegang kepada pendapat Ibnu Umar."

【5】

Sunan Tirmidzi 1099: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basyar], telah menceritakan kepada kami [Abdurrahman bin Mahdi], telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Isma'il bin Abu Khalid] dari [Asy Sya'bi] dari [Masruq] dari [Aisyah] berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kami memilih, maka kami (para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) tetap memilih beliau. Apakah itu merupakan talak?" Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basyar], telah menceritakan kepada kami [Abdurrahman bin Mahdi], telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Al A'masy] dari [Abu Adl Dluha] dari [Masruq] dari [Aisyah] seperti di atas. Abu Isa berkata: "Ini merupakan hadits hasan sahih. Para ulama berselisih pendapat dalam masalah khiyar. Diriwayatkan dari Umar dan Abdullah bin Mas'ud, keduanya berkata: jika dia memilih dirinya maka itu termasuk talak ba`in. Diriwayatkan dari keduanya, berkata: itu adalah talak satu dan masih bisa rujuk. Jika dia memilih suaminya, maka itu tidak dianggap talak. Diriwayatkan dari Ali, dia berkata: jika dia memilih untuk bercerai maka hukumnya adalah talak tiga. Jika dia memilih kembali ke suami maka hukumnya adalah talak satu. Zaid bin Tsabit berkata: jika dia memilih suaminya, hukumnya adalah talak satu. Jika dia memilih talak maka hukumnya adalah talak tiga. Kebanyakan ulama dan fuqaha` dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan setelah mereka pada masalah ini mengikuti pendapat Umar dan Abdullah. Ini pendapat Ats Tsauri dan penduduk Kufah. Ahmad bin Hanbal mengikuti pendapat Ali Radliyallah 'anhu.

【6】

Sunan Tirmidzi 1100: Telah menceritakan kepada kami [Hannad] dari [Jarir] dari [Mughirah] dari [Asy Sya'bi] berkata: [Fathimah binti Qais] berkata: "Suamiku telah mentalakku tiga kali pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: 'Kamu tidak berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah'." Mughirah berkata: "Saya sampaikan hal itu pada Ibrahim, dia berkomentar: Umar berkata: 'kami tidak akan meninggalkan kitab Allah dan sunnah Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam karena perkataan seorang wanita yang kami tidak tahu apakah dia masih hafal atau telah lupa.' Umar tetap memberikan tempat tinggal dan nafkah pada orang yang telah ditalak tiga." Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Mani'] telah menceritakan kepada kami [Husyaim], telah memberitakan kepada kami [Hushain], [Isma'il] dan [Mujalid] [Husyaim] berkata: dan telah menceritakan kepada kami [Daud] juga dari [Asy Sya'bi] berkata: "Saya menemui [Fathimah binti Qais]. Saya bertanya tentang keputusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam padanya. Dia menjawab bahwa suaminya telah menceraikanya tiga kali, lalu dia mengadukannya tentang tempat tinggal dan nafkah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memutuskan mendapatkan tempat tinggal dan nafkah." Pada hadits Daud, Fathimah berkata: "Beliau menyuruhku untuk ber'iddah di rumah Ibnu Umi Maktum." Abu Isa berkata: "Ini merupakan hadits hasan sahih. Ini pendapat sebagian ulama. Di antaranya: Al Hasan Al Bashri, 'Atha` bin Abu Rabah dan Asy Sya'bi. Ini juga pendapat Ahmad dan Ishaq. Mereka berkata: 'Tidak ada tempat tinggal dan nafkah bagi orang yang ditalak, jika suami sudah tidak ada hak rujuk.' Sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya Umar dan Abdullah berpendapat bahwa bagi wanita yang ditalak tiga, mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. Ini pendapat Malik bin Anas, Laits bin Sa'ad dan Syafi'i. Ini juga pendapat yang dipilih Sufyan Ats Tsauri dan penduduk Kufah. Sebagain lagi berpendapat: dia mendapatkan tempat tinggal tapi tidak mendapatkan nafkah. Ini pendapat yang juga dipakai Malik bin Anas, Laits bin Sa'ad dan Syafi'i. Syafi'i berkata: 'Kami menetapkan tempat tinggal berdalil dengan kitab Allah. Allah Ta'ala berfirman: "..Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.." Mereka berkata: yang dimaksud Al Badza` yaitu perkataan keji kepada suaminya dan dia beralasan bahwa Fathimah binti Qais tidak diberi tempat tinggal oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena dia berkata keji atas suaminya. Syafi'i berkata: dia tidak mendapatkan nafkah karena (berdasarkan) hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kisah Fathimah bin Qais.

【7】

Sunan Tirmidzi 1101: Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Mani'] telah menceritakan kepada kami [Husyaim] telah menceritakan kepada kami [Amir Al Ahwal] dari [Amru bin Syu'aib] dari [ayahnya] dari [kakeknya] ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada nadzar bagi anak Adam terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak ada (istilah) memerdekakan pada sesuatu yang tidak dimilikinya dan tidak ada talaq pada sesuatu yang tidak dimilikinya." Ia mengatakan: Dalam hal ini ada hadits serupa dari Ali, Mu'adz bin Jabal, Jabir, Ibnu Abbas dan A`isyah. Abu Isa berkata: Hadits Abdullah bin Amru adalah hadits hasan shahih, ia adalah hadits yang paling baik dalam bab ini. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka. Diriwayatkan pula dari Ali bin Abu Thalib, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Sa'id bin Al Musayyab, Al Hasan, Sa'id bin Jubair, Ali bin Al Husain, Syuraih, Jabir bin Zair dan masih banyak dari kalangan fuqaha tabi'in, inilah yang dikatakan oleh Asy Syafi'i. Dan diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa ia mengatakan dalam masalah al manshubah: maka jatuhlah thalaqnya. Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha'i, Asy Syafi'i dan selain keduanya dari para ulama bahwa mereka mengatakan: Jika ia menentukan waktu pernikahannya maka jatuhlah thalaqnya. Ini adalah pendapat Sufyan Ats Tsauri dan Malik bin Anas: Bahwa seseorang yang menyebutkan persis calon isterinya atau menentukan waktu pernikahannya, atau ia berkata: Jika aku menikah dengan wanita kampung ini, jika ia benar-benar menikahinya maka jatuhlah thalaqnya. Adapun Ibnul Mubarak menegaskan dalam bab ini, ia mengatakan: Jika ia melaksanakan pernikahan itu, aku tidak berpendapat bahwa wanita itu haram baginya. Sedangkan Ahmad berkata: Jika ia melaksanakan pernikahan, aku tidak akan memerintahkan untuk menceraikan isterinya. Ishaq berkata: Aku membolehkan untuk menikahi wanita yang sudah ditentukan berdasar pada hadits Ibnu Mas'ud, jika ia menikahi wanita itu, maka aku tidak berpendapat bahwa isterinya haram baginya. Ishaq justru memberi kelonggaran dalam masalah menikahi wanita (yang sudah dikatakan cerai sebelumnya) yang tidak ditentukannya itu. Disebutkan dari Abdullah bin Al Mubarak bahwa ia ditanya tentang seorang laki-laki yang bersumpah dengan kalimat thalaq, bahwa ia tidak menikah. Kemudian muncul keinginan untuk menikah, apakah ada keringanan untuk mengambil pendapat para fuqaha yang membolehkan dalam masalah ini? Lalu Ibnul Mubarak menjawab: Jika ia memandang pendapat ini benar sebelum ia terkait dengan masalah ini, maka ia boleh mengambil pendapat para fuqaha itu. Adapun bagi orang yang tidak setuju dengan pendapat ini, lalu ketika ia terkena masalah ini, ia mengambil pendapat para fuqaha itu, maka aku tidak setuju ia mengambil pendapat itu.

【8】

Sunan Tirmidzi 1102: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yahya An Naisaburi] telah menceritakan kepada kami [Abu 'Ashim] dari [Ibnu Juraij] ia berkata: telah menceritakan kepadaku [Muzhahir bin Aslam] ia berkata: telah menceritakan kepadaku [Al Qosim] dari [A`isyah] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jumlah talaq budak wanita ialah dua kali dan masa iddahnya selama dua kali haidh." Muhammad bin Yahya mengatakan serta telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim: telah memberitakan kepada kami Muzhahir dengan hadits ini. Ia mengatakan: Dalam hal ini ada hadits serupa dari Abdullah bin Umar. Abu Isa berkata: Hadits A`isyah adalah hadits gharib yang tidak kami ketahui diriwayatkan secara marfu' kecuali dari hadits Muzhahir bin Aslam dan Muzhahir tidak kami ketahui meriwayatkan selain hadits ini. Hadits ini menjadi pedoman amal menurut para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka, ini adalah pendapat Sufyan Ats Tsauri, Asy Syafi'i, Ahmad dan Ishaq.

【9】

Sunan Tirmidzi 1103: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] telah menceritakan kepada kami [Abu 'Awanah] dari [Qatadah] dari [Zurarah bin Aufa] dari [Abu Hurairah] ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allah memaafkan ummatku dari apa yang dikatakan di dalam hatinya selama tidak diucapkan atau dilakukannya." Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih dan menjadi pedoman amal menurut para ulama, bahwa seseorang yang mengatakan cerai di dalam hatinya, maka cerai tidak akan jatuh hingga ia mengucapkannya.

【10】

Sunan Tirmidzi 1104: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] telah menceritakan kepada kami [Hatim bin Isma'il] dari [Abdurrahman bin Ardak Al Madani] dari ['Atha`] dari [Ibnu Mahak] dari [Abu Hurairah] ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ada tiga perkara yang sungguh-sungguhnya menjadi sungguh dan senda guraunya menjadi sungguh-sungguh: Nikah, talaq dan ruju'." Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib dan menjadi pedoman amal menurut para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka. Abu Isa berkata: Abdurrahman adalah Ibnu Habib bin Ardak Al Madani dan Ibnu Mahak menurutku adalah Yusuf bin Mahak.

【11】

Sunan Tirmidzi 1105: Telah menceritakan kepada kami [Mahmud bin Ghailan] telah memberitakan kepada kami [Al Fadhal bin Musa] dari [Sufyan] telah memberitakan kepada kami [Muhammad bin Abdurrahman] ia adalah mantan budak keluarga Thalhah dari [Sulaiman bin Yasar] dari [Ar Rubayyi' binti Mu'awwidz bin 'Afra`] bahwa ia pernah mengajukan gugatan cerai pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya atau ia diperintah (perawi ragu) untuk melakukan iddah selama satu kali haidh. Ia mengatakan: Dalam hal ini ada hadits serupa dari Ibnu Abbas. Abu Isa berkata: Hadits Ar Rubayyi' binti Mu'awwidz yang shahih adalah: Bahwa ia diperintah untuk melakukan iddah dengan satu kali haidh.

【12】

Sunan Tirmidzi 1106: Telah memberitakan kepada kami [Muhammad bin Abdurrahman Al Baghdadi] telah memberitakan kepada kami [Ali bin Bahr] telah memberitakan kepada kami [Hisyam bin Yusuf] dari [Ma'mar] dari [Amru bin Muslim] dari [Ikrimah] dari [Ibnu Abbas], bahwa: Isteri Tsabit bin Qais mengajukan gugatan cerai kepada suaminya pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya untuk melakukan iddah selama satu kali haidh. Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib, para ulama berselisih mengenai iddah wanita yang mengajukan gugatan cerai. Kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka berpendapat: Iddah wanita yang mengajukan gugatan cerai adalah seperti iddah wanita yang ditalak yaitu tiga kali haidh, ini adalah pendapat Sufyan Ats Tsauri dan penduduk Kuffah demikian pula dengan pendapat Ahmad dan Ishaq. Sedangkan sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka berpendapat: Bahwa iddah wanita yang mengajukan gugatan cerai adalah satu kali haidh. Ishaq berkata: Jika ada orang yang sependapat dengan pendapat ini maka itulah pendapat yang kuat.

【13】

Sunan Tirmidzi 1107: Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib] telah menceritakan kepada kami [Muzahim bin Dzawwad bin 'Ulbah] dari [ayahnya] dari [Laits] dari [Abu Al Khaththab] dari [Abu Zur'ah] dari [Abu Idris] dari [Tsauban] dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Para wanita yang mengajukan gugatan cerai adalah wanita munafik." Abu Isa berkata: Hadits ini gharib dari jalur ini dan sanadnya tidak kuat. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: "Wanita mana pun yang mengajukan gugatan cerai kepada suaminya tanpa sebab, maka ia tidak akan mencium bau surga."

【14】

Sunan Tirmidzi 1108: telah memberitakan hal itu kepada kami [Bundar] telah memberitakan kepada kami [Abdul Wahhab] telah memberitakan kepada kami [Ayyub] dari [Abu Qilabah] dari [orang yang menyampaikan hadits] dari [Tsauban] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wanita mana pun yang menggugat cerai suaminya tanpa ada sebab, maka haram baginya bau surga." Abu Isa berkata: Hadits ini hasan dan hadits ini diriwayatkan dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Asma dari Tsauban serta sebagian perawi meriwayatkannya dari Ayyub dengan sanad ini namun ia tidak memarfu'kannya.

【15】

Sunan Tirmidzi 1109: Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Abu Ziyad] telah menceritakan kepada kami [Ya'qub bin Ibrahim bin Sa'd] telah menceritakan kepada kami sepupuku [Ibnu Syihab] dari [pamannya] dari [Sa'id bin Al Musayyab] dari [Abu Hurairah] ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya wanita itu seperti tulang rusuk: Jika kamu ingin meluruskannya maka kamu akan mematahkannya dan jika kamu membiarkannya maka kamu bisa bersenang-senang dengannya, namun ia masih dalam keadaan bengkok." Berkata: Masih dalam bab yang sama diriwayatkan dari Abu Dzarr, Samurah dan 'Aisyah. Abu Isa berkata: Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih gharib dari jalur ini namun sanadnya bagus.

【16】

Sunan Tirmidzi 1110: Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Muhammad] telah memberitakan kepada kami [Ibnul Mubarak] telah memberitakan kepada kami [Ibnu Abu Dzi`b] dari [Al Harits bin Abdurrahman] dari [Hamzah bin Abdullah bin Umar] dari [Ibnu Umar] ia berkata: Aku pernah memiliki isteri yang aku cintai namun ayahku membencinya, lalu ayahku menyuruhku untuk menceraikannya, aku pun menolaknya. Lalu aku beritahukan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Wahai Abdullah bin Umar, ceraikanlah isterimu." Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih, sesungguhnya kami hanya mengetahuinya dari hadits Ibnu Abu Dzi`b.

【17】

Sunan Tirmidzi 1111: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] telah menceritakan kepada kami [Sufyan bin Uyainah] dari [Az Zuhri] dari [Sa'id bin Al Musayyab] dari [Abu Hurairah] hingga sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Janganlah seorang wanita meminta (seorang pria) menceraikan isterinya agar pria tersebut dapat memperisterinya (hingga memenuhi kebutuhannya)." Ia mengatakan: Masih dalam bab ini diriwayatkan dari Ummu Salamah. Abu Isa berkata: Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih.

【18】

Sunan Tirmidzi 1112: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Abdul A'la Ash Shan'ani] telah memberitakan kepada kami [Marwan bin Mu'awiyah Al Fazari] dari ['Atha` bin 'Ajlan] dari [Ikrimah bin Khalid Al Makhzumi] dari [Abu Hurairah] ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Setiap perceraian itu boleh berlaku kecuali cerai orang yang kehilangan akalnya." Abu Isa berkata: Hadits ini tidak kami ketahui diriwayatkan secara marfu' kecuali dari hadits 'Atha bin 'Ajlan dan 'Atha bin 'Ajlan adalah dha'if yang tidak menghafal hadits. Dan hadits ini menjadi pedoman amal menurut para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka, yaitu cerai orang yang kehilangan akalnya tidak berlaku kecuali jika terkadang mengalami kesembuhan dan ia menceraikan pada waktu mengalami kesembuhan.

【19】

Sunan Tirmidzi 1113: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] telah menceritakan kepada kami [Ya'la bin Syabib] dari [Hisyam bin Urwah] dari [ayahnya] dari [A`isyah] ia berkata: Dahulu orang-orang terutama kaum laki-laki menceraikan isterinya sesuka hati dalam menceraikannya namun tetap menjadi isterinya, jika ia ruju' kepadanya maka ia lakukan pada masa iddah walaupun ia menceraikannya seratus kali bahkan lebih hingga seorang laki-laki mengatakan kepada isterinya: Demi Allah, aku tidak akan menceraikanmu hingga engkau lepas dariku dan aku juga tidak akan memberimu tempat tinggal selamanya. Isterinya bertanya: Bagaimana itu bisa terjadi? Ia menjawab: Aku akan menceraikanmu, maka setiap kali masa iddahmu hampir selesai aku akan ruju' kepadamu. Lalu isterinya pergi hingga menemui A`isyah seraya mengabarkannya. A`isyah pun terdiam hingga datang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dikabarkan kepada beliau, namun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam diam hingga turun ayat Al Qur`an: (Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik). A`isyah melanjutkan: Maka orang-orang pun memulai hitungan cerai dari awal baik yang sudah maupun yang belum menceraikan. Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib Muhammad bin Al 'Ala`] telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Idris] dari [Hisyam bin Urwah] dari [ayahnya] seperti hadits ini dengan maknanya namun ia tidak menyebutkannya dari A`isyah. Abu Isa berkata: Dan ini lebih shahih dari pada hadits Ya'la bin Syabib.

【20】

Sunan Tirmidzi 1114: Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Mani'] telah menceritakan kepada kami [Husain bin Muhammad] telah menceritakan kepada kami [Syaiban] dari [Manshur] dari [Ibrahim] dari [Al Aswad] dari [Abu As Sanabil bin Ba'kak] ia berkata: Subai'ah melahirkan setelah suaminya meninggal dalam masa dua puluh tiga atau dua puluh lima hari. Ketika ia suci (dari nifas) maka ia berhias untuk menikah. Lalu ada orang mengingkarinya, hal itu pun disampaikan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pun menjawab: "Jika ia melakukannya, maka telah selesai masa iddahnya." Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Mani'] telah menceritakan kepada kami [Al Hasan bin Musa] telah menceritakan kepada kami [Syaiban] dari [Manshur] seperti itu. Dan ia mengatakan: Dalam hal ini ada hadits serupa dari Ummu Salamah. Abu Isa berkata: Hadits Abu As Sanabil adalah hadits Masyhur gharib dari jalur ini namun kami tidak mengetahui bahwa Al Aswad mempunyai hadits yang didengar dari Abu As Sanabil serta aku mendengar Muhammad berkata: Aku tidak tahu bahwa Abu As Sanabil hidup setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini menjadi pedoman amal menurut kebanyakan ulama dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka, bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, jika melahirkan maka telah halal untuk menikah walaupun belum habis masa iddahnya. Ini adalah pendapat Sufyan Ats Tsauri, Asy Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Sedangkan sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka berpendapat: Ia melakukan iddah dengan masa yang paling akhir (lama) dari dua masa iddahnya (masa iddah seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, dan masa iddah seorang wanita yang hamil), namun pendapat pertama lebih shahih.

【21】

Sunan Tirmidzi 1115: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dari [Yahya bin Sa'id] dari [Sulaiman bin Yasar] bahwa Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Abu Salamah bin Abdurrahman saling membahas wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya, lalu melahirkan sesudah suaminya meninggal. Ibnu Abbas pun berkata: Ia melakukan iddah dengan masa yang paling akhir (lama) dari dua masa iddahnya. Abu Salamah berkata: Bahkan ia telah halal ketika melahirkan. Sedangkan Abu Hurairah berkata: Aku sependapat dengan anak saudaraku yakni Abu Salamah. Maka mereka mengutus seseorang kepada [Ummu Salamah], isteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia pun mengatakan: Subai'ah Al Aslamiyyah telah melahirkan dengan jarak waktu yang pendek sesudah suaminya meninggal, ia pun meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau menyuruhnya untuk menikah. Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih.

【22】

Sunan Tirmidzi 1116: Telah menceritakan kepada kami [Al Anshari] telah menceritakan kepada kami [Ma'n bin Isa] telah memberitakan kepada kami [Malik bin Anas] dari [Abdullah bin Abu Bakr bin Muhammad bin Amru bin Hazm] dari [Humaid bin Nafi'] dari [Zainab binti Abu Salamah] bahwa ia mengabarkan ketiga hadits ini kepadanya. Zainab berkata: Aku masuk ke rumah [Ummu Habibah], isteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika ayahnya, Abu Sufyan bin Harb, meninggal, lalu ia meminta minyak yang berwarna kuning campuran minyak Za'faran atau lainnya, kemudian ia meminyaki seorang gadis kecil dan mengusapkan di kedua pipinya, ia pun berkata: Demi Allah, tidaklah aku memakai wewangian karena suatu kebutuhan, selain karena aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas suatu kematian lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari."

【23】

Sunan Tirmidzi 1117: [Zainab] berkata: Aku masuk ke rumah [Zainab binti Jahsy] tatkala saudaranya meninggal, lalu ia meminta wewangian lalu mengolesinya kemudian ia berkata: Demi Allah, tidaklah aku memakai wewangian karena suatu kebutuhan, selain karena aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas suatu kematian lebih dari tiga malam, kecuali atas kematian suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari."

【24】

Sunan Tirmidzi 1118: [Zainab] berkata: Dan aku pun mendengar ibuku, [Ummu Salamah], berkata: Ada seorang wanita datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati suaminya dan kedua matanya sakit, bolehkah kami memberi celak pada matanya? Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Jangan." Beliau mengatakan dua atau tiga kali, setiap pertanyaan beliau menjawab: "Jangan." Kemudian beliau bersabda: "Sesungguhnya iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, pada masa jahiliyah salah seorang dari kalian (berkabung) dengan cara melempar kotoran unta pada penghujung akhir tahun." Berkata: Dalam bab ini ada hadits serupa dari Furai'ah binti Malik saudari Abu Sa'id Al Khudri dan Hafshah binti Umar. Abu Isa berkata: Hadits Zainab adalah hadits hasan shahih serta menjadi pedoman amal menurut kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka, bahwa seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, harus menjauhkan diri dari wewangian dan berhias pada masa iddahnya. Dan ini pendapat Sufyan Ats Tsauri, Malik bin Anas, Asy Syafi'i, Ahmad dan Ishaq.

【25】

Sunan Tirmidzi 1119: Telah menceritakan kepada kami [Abu Sa'id Al Asyajj] telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Idris] dari [Muhammad bin Ishaq] dari [Muhammad bin Amru bin 'Atha`] dari [Sulaiman bin Yasar] dari [Salamah bin Shakhr Al Bayadhi] dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Tentang masalah orang yang mengucapkan kata zhirar lalu menggauli isterinya sebelum membayar kaffarat, beliau menjawab: "Ia wajib membayar satu kaffarat." Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib dan menjadi pedoman amal menurut kebanyakan ulama. Dan ini adalah pendapat Sufyan, Malik, Asy Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Namun sebagian mereka berpendapat: Jika ia menggauli isterinya sebelum membayar kaffarat, maka ia wajib membayar dua kaffarat, ini adalah pendapat Abdurrahman bin Mahdi.

【26】

Sunan Tirmidzi 1120: Telah menceritakan kepada kami [Abu Ammar Al Husain bin Huraits] telah menceritakan kepada kami [Al Fadhal bin Musa] dari [Ma'mar] dari [Al Hakam bin Aban] dari [Ikrimah] dari [Ibnu Abbas], bahwa: Ada seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa ia telah mengucapkan kata zhihar lalu menggaulinya, ia bertanya: "Wahai Rasulullah, aku telah mengucapkan kata zhihar kepada isteriku namun aku menggaulinya sebelum membayar kaffarat." Lalu beliau menjawab: "Apa yang mendorongmu melakukannya, semoga Allah merahmatimu?" Ia menjawab: "Aku melihat gelang kakinya pada sinar bulan." Beliau bersabda: "Janganlah engkau menggaulinya hingga engkau mengerjakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu." Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib shahih.

【27】

Sunan Tirmidzi 1121: Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Manshur] telah memberitakan kepada kami [Harun bin Isma'il Al Khazzaz] telah memberitakan kepada kami [Ali bin Al Mubarak] telah memberitakan kepada kami [Yahya bin Abu Katsir] telah memberitakan kepada kami [Abu Salamah] dan [Muhammad bin Abdurrahman bin Tsauban], bahwa: [Salman bin Shakhr Al Anshari] salah seorang Banu Bayadhah menganggap isterinya seperti punggung ibunya hingga datang bulan Ramadhan. Ketika sampai pada pertengahan bulan Ramadhan, ia menggauli isterinya pada malam hari, lalu ia menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seraya menyebutkan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan kepadanya: "Merdekakan seorang budak." Ia menjawab: "Aku tidak mendapatkannya." Beliau mengatakan lagi: "Berpuasalah dua bulan berturut-turut." Ia menjawab: "Aku juga tidak mampu." Beliau mengatakan: "Berilah makan enam puluh orang miskin." Ia menjawab: "Aku juga tidak mampu." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan kepada Farwah bin Amru: "Berilah ia satu 'arq (Satu 'arq adalah satu wadah yang memuat lima atau enam belas sha') Supaya ia memberi makan enam puluh orang miskin." Abu Isa berkata: Hadits ini hasan. Dikatakan: Salman bin Shakr terkadang dipanggil Salamah bin Shakhr Al Bayadhi, hadits ini menjadi pedoman amal menurut para ulama dalam masalah kaffarat zhihar.

【28】

Sunan Tirmidzi 1122: Telah menceritakan kepada kami [Al Hasan bin Qaza'ah Al Bashri] telah memberitakan kepada kami [Maslamah bin 'Alqamah] telah memberitakan kepada kami [Dawud bin Ali] dari [Amir] dari [Masruq] dari ['Aisyah] ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan ilaa terhadap sebagian isteri-isteri beliau dan mengharamkannya (mengharamkan dirinya untuk menggauli istri-istrinya). Lalu beliau menjadikan yang haram itu halal dan membayar kaffarat pada sumpahnya. Berkata: Dalam hal ini ada hadits serupa dari Anas dan Abu Musa. Abu Isa berkata: Hadits Maslamah bin 'Alqamah dari Dawud, diriwayatkan oleh [Ali bin Mushir] dan lainnya dari [Dawud] dari [Asy Sya'bi] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, secara mursal, dan di dalamnya tidak disebutkan dari Masruq dari 'Aisyah dan ini lebih shahih dari hadits Maslamah bin 'Alqamah. Ilaa adalah seorang laki-laki bersumpah untuk tidak menggauli isterinya selama empat bulan lebih. Para ulama berselisih pendapat jika telah berlalu empat bulan, sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka berpendapat: Jika telah berlalu empat bulan maka hukumnya tergantung, apakah ia mau kembali atau menceraikannya. Ini adalah pandapat Malik bin Anas, Asy Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Adapun Sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka berpendapat: Jika telah berlalu empat bulan, maka hukumnya adalah talak bain, ini adalah pendapat Sufyan Ats Tsauri dan penduduk Kufah.

【29】

Sunan Tirmidzi 1123: Telah menceritakan kepada kami [Hannad] telah menceritakan kepada kami [Abdah bin Sulaiman] dari [Abdul Malik bin Abu Sulaiman] dari [Sa'id bin Jubair] ia berkata: Aku ditanya tentang dua orang yang bersumpah li'an pada masa pemerintahan Mush'ab bin Az Zubair: Apakah keduanya harus dipisahkan? Aku tidak tahu apa yang harus aku jawab, lalu aku bangkit dari tempatku dan pergi ke rumah [Abdullah bin Umar] meminta izin kepadanya, tetapi dikatakan kepadaku bahwa ia sedang tidur qailulah (tidur siang). Ternyata ia mendengar suaraku, maka ia berkata: "Apakah itu Ibnu Jubair, masuklah, tidaklah engkau datang kepadaku melainkan karena ada kepentingan." Ia melanjutkan: Lalu aku pun masuk menemuinya sedang ia menggelar pelana kuda miliknya. Aku bertanya: "Wahai Abu Abdurrahman, tentang dua orang yang bersumpah li'an, apakah keduanya dipisahkan?" Maka ia menjawab: "Subhanallah, ya, sesungguhnya orang yang pertama kali bertanya tentang hal tersebut adalah Fulan bin Fulan, ia menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seraya bertanya: 'Wahai Rasulullah, menurutmu jika salah seorang dari kami melihat isterinya berbuat keji, apa yang harus ia perbuat. Jika harus berbicara maka ia harus berbicara perkara besar, namun jika ia diam maka ia mendiamkan perkara besar.' Ia melanjutkan: Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam diam dan tidak menjawabnya. Setelah itu ia datang lagi menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata: 'Sesungguhnya yang aku tanyakan kepada engkau telah menimpaku.' Lalu Allah menurunkan ayat yang terdapat dalam surat An Nur: {Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri} hingga akhir ayat, lalu beliau memanggil laki-laki itu dan membacakan ayat-ayat itu kepadanya. Beliau menasehati dan memberitahukan kepadanya: 'Sesungguhnya siksa dunia lebih ringan dari pada siksa akhirat.' Orang itu berkata: 'Tidak demi Yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku tidak berdusta tentang isteriku itu.' Kemudian beliau mengulangi hal yang sama kepada isterinya, menasehati, mengingatkan dan memberitahukan kepadanya: 'Sesungguhnya siksa dunia lebih ringan dari pada siksa akhirat.' Ia pun menjawab: 'Tidak demi Yang mengutus engkau dengan kebenaran, suamiku tidak benar.'" Ia melanjutkan: "Lalu beliau memulai dengan laki-laki itu, ia bersyahadat empat kali dengan syahadat kepada Allah: Sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang benar (di dalam tuduhannya). Dan yang kelima: Sesungguhnya laknat Allah kepadanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Kemudian beliau menyuruh kepada wanita itu, lalu ia bersyahadat empat kali dengan syahadat kepada Allah: Sesungguhnya suaminya termasuk orang-orang yang berdusta. Dan yang kelima: Sesungguhnya kemurkaan Allah akan menimpaku jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. Kemudian beliau menceraikan keduanya." Berkata: Dalam hal ini ada hadits serupa dari Sahl bin Sa'd, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Hudzaifah. Abu Isa berkata: Hadits Ibnu Umar adalah hadits hasan shahih dan hadits ini menjadi pedoman amal menurut para ulama.

【30】

Sunan Tirmidzi 1124: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] telah memberitakan kepada kami [Malik bin Anas] dari [Nafi'] dari [Ibnu Umar] ia berkata: Seorang laki-laki bersumpah li'an kepada isterinya lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menceraikan keduanya dan memberikan anaknya kepada ibunya. Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih dan menjadi pedoman amal menurut para ulama.

【31】

Sunan Tirmidzi 1125: Telah menceritakan kepada kami [Al Anshari] telah memberitakan kepada kami [Ma'n] telah memberitakan kepada kami [Malik] dari [Sa'd bin Ishaq bin Ka'b bin 'Ujrah] dari bibinya [Zainab binti Ka'b bin 'Ujrah] bahwa [Al Furai'ah binti Malik bin Sinan], ia adalah saudari Abu Sa'id Al Khudri, mengabarkan kepadanya bahwa: Ia pernah menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta izin untuk kembali kepada keluarganya di banu Khudrah, karena suaminya ketika keluar mencari budaknya yang kabur hingga ke ujung Qudum, ia mendapatkannya yang akhirnya mereka membunuhnya. Al Furai'ah mengisahkan: "Lalu aku meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk kembali ke keluargaku, karena suamiku tidak meninggalkan tempat tinggal yang ia miliki dan nafkah untukku." Ia berkata: "Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Ya.'" Ia melanjutkan lagi: "Lalu aku berangkat pulang sehingga ketika aku berada di kamar atau di masjid, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memanggilku atau beliau memerintahkanku untuk menghadapnya. Beliau pun bertanya: 'Bagaimana kamu tadi berkata?'" Ia berkata lagi: "Lalu aku mengulangi ceritaku kepada beliau tentang kejadian yang menimpa suamiku. Beliau menjawab: 'Tinggallah di rumahmu hingga masa iddahmu habis.'" Ia mengatakan: "Lalu aku melakukan iddah selama empat bulan sepuluh hari." Ia melanjutkan: "Ketika 'Utsman (menjadi Khalifah) ia datang kepadaku lalu bertanya tentang hal itu kepadaku, aku pun memberitahukan kepadanya, lalu ia mengikuti dan memutuskan perkara seperti itu." [Muhammad bin Basysyar] telah memberitakan kepada kami [Yahya bin Sa'id] telah memberitakan kepada kami [Sa'd bin Ishaq bin Ka'b bin 'Ujrah] lalu ia menyebutkan seperti itu secara maknanya. Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih dan hadits ini menjadi pedoman amal menurut kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka, mereka berpendapat bahwa wanita yang berada dalam masa iddahnya tidak boleh untuk pindah dari rumah suaminya hingga habis masa iddahnya. Ini adalah pendapat Sufyan Ats Tsauri, Asy Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Sedangkan sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka berpendapat: Bagi seorang wanita boleh melakukan iddah sekehendak hatinya, meskipun ia tidak mau melakukan iddah di rumah suaminya. Abu Isa berkata: pandapat pertama lebih benar.